FA'I
Fa'i adalah segala harta kekayaan
orang-orang kafir yang dikuasai oleh kaum muslimin tanpa peperangan. Seperti
orang-orang kafir yang takut dan melakukan perdamaian dengan kaum muslimin
serta menyerahkan sebagian dari harta dan tanah mereka, seperti terjadi pada
penduduk Fidak. Harta fa'i ini menjadi milik Rasulullah saw; sebagian
dibelanjakan beliau untuk keperluan keluarganya selama setahun; sisanya
dijadikan oleh beliau untuk keperluan amunisi dan penyediaan senjata perang.
Setelah beliau wafat, Abu Bakar dan Umar melakukan hal yang sama.
Imam An Nawawi membagi sumber dari
harta Fa’i menjadi dua macam yaitu:
1.
Fa’I
yang diambil dari harta orang-orang kafir dikarenakan adanya ekspansi terhadap
mereka dan mereka takut dari kaum muslimin. Maka harta ini harus dibagi-bagi
menjadi seperlima sebagaimana harta ghonimah. [Al majmu’ syarh muhaddab jid.
21, hal. 172]
2.
Fa’I
yang diambil dari orang-orang kafir tanpa ada rasa takut, yaitu:
a)
Harta
jizyah yaitu pungutan yang diambil dari ahlu dzimah pada akhir tahun yang
negerinya ditaklukan melalui perang.
b)
Harta
pajak hasil kompensasi perdamaian
c)
Khoroj
(pajak bumi) yaitu pungutan yang dikenakan pada tanah-tanah yang dikuasai oleh
kaum muslimin.
d)
Harta
ahli dzimah yang mati dan ia tidak mempunyai ahli waris.
e)
Harta
orang murtad dari islam apabila ia terbunuh atau mati.
Harta rampasan dapat bernila Fa’i saat;
1.
Fa’i
yang diambil dari orang kafir dengan cara pengadaan ekspansi, maka fa’i bisa
didapatkan apabila:
a)
Musuh
jelas.
Tidak ada syubhat tentang status musuh,
apakah ia kafir musta’man, dzimi, ataukah mu’ahad, yaitu orang-orang kafir yang
benar-benar nyata bagi kaum muslimin tanpa ada keraguan untuk diperangi. Sedangkan
orang kafir yang nyata harus diperangi adalah mereka kafir harbi. [Isti’anah bi
ghoiri muslim fil fiqh islamy, hal. 131] Setelah jelas sudah keadaan atau
setatus orang kafir tersebut sebagai kafir harbi, maka harta dan nyawanya halal
untuk ditumpahkan. Sebagaimana yang dilakukan oleh Rosulullah saw di dalam
mengirim satuan tempur yang di sebut sariyah untuk menghdang dan merampas harta
orang-orang kafir quraisy dengan tujuan untuk memblokade perekonomian mereka.
[Rosulullah sang panglima, hal. 79]
b)
Di
Darul harbi
Syarat dibolehkannya merampas dan
mengambil harta orang kafir untuk dijadikan ghonimah atau fa’i haruslah di
darul harbi. Di dalam kitab al wajiz syarhul wajiz di sana dinyatakan;
bahwasanya apabila ada salah seorang masuk ke negeri harbi secara
sembunyi-sembunyi dan mengambil harta dengan mencuri maka itu adalah menjadi
milik bagi siapa yang mengambilnya tersebut secara khusus. Di sana juga
dinukilkan dari kitab tahdzib bahwasanya; apabila ada satu orang masuk ke
negeri harbi dan mengambil harta mereka dengan melalui perang maka ia jadi
ghonimah dan diambil darinya seperlimanya dan sisanya untuknya, dan apabila ia
mengambilnya dengan cara sembunyi-sembunyi kemudian dia lari maka ia jadi
miliknya secara khusus tidak diambil darinya seperlima. Ini bentuk dari aksi
pencurian karena mengambil harta orang kafir dengan cara sembunyi-sembunyi.
[Al’aziz syarhul wajiz, hal.420]
c)
Ketika
jihad sudah dikumandangkan
Sebelum ekspansi dilaksanakan maka
diwajibkan terlebih dahulu untuk menyeru orang-orang kafir untuk masuk agama
islam, kalau mereka mau memenuhi seruan islam maka darah dan harta mereka
terlindungi. Jika mereka tidak mau memenuhi seruan islam maka serulah untuk
membayar jizyah dan apabila mereka tidak mau memenuhi seruan ini maka
kumandangkanlah jihad untuk memerangi mereka.
Sebagaimana sabda Rosulullah: “Apabila
kalian mengepung penduduk suatu daerah atau benteng maka serulah mereka
terlebih dahulu untuk masuk islam, dan apabila mereka mau bersaksi bahwasanya
tiada tuhan yang berhaq untuk disembah kecuali Allah dan Muhammad utusan Allah
maka hak bagi mereka sebagaimana untuk kalian dan apa yang diwajibkan kepada
mereka sebagaimana diwajibkannya kepada kalian. Dan apabila mereka menolak
untuk masuk islam maka serulah mereka untuk membayar jizyah yang dibayarkan
oleh mereka dengan hina dan mereka adalah orang yang kecil. Dan apabila mereka
menolak untuk membayar jizyah maka perangilah mereka sampai Allah swt
memberikan keputusanNya diantara kalian, dan Dia adalah sebaik-baik pemberi
keputusan.” [Hadist shohih HR. Muslim]
d)
Orang-orang
kafir menjaga hartanya kemudian kabur setelah mengetahui kedatangan pasukan
kaum muslimin
Sesuai dengan definisi bahwasanya
apabila ada satuan tempur kaum muslimin menyerbu suatu wilayah orang-orang
kafir dan orang-orang kafir tersebut mengetahui akan kedatangan pasukan kaum
muslimin kemudian mereka kabur atau melarikan diri dan meninggalkan harta-harta
mereka, kemudian pasukan kaum muslimin tersebut mengambil dan membawa harta
tersebut maka harta tersebut telah menjadi fa’I bagi kaum muslimin.
2.
Fa’I yang diambil dari orang kafir tanpa
adanya ekspansi.
Seperti jizyah, khoroj dan lain
sebagainya, maka harta fa’I jenis ini bisa diperoleh apabila telah tegak daulah
atau pemerintahan islamiyah yang dipimpin oleh seorang kholifah. Karena dengan
adanya daulah islamiyah akan memunculkan hukum tentang kafir dzimi, khoroj,
jizyah dan lain sebagainya.
Hukum Merampok Kepentingan Umum Yang
Pemiliknya Campur Antara Muslim dan Kafir.
Kalaulah harta yang dihasilkan dari
perampokan tersebut dianggap sebagai harta fa’i, maka hendaknya harus memenuhi
syarat-syarat dan tata cara bagaimana pengambilan harta fa’i yang sesuai dengan
syar’i. Apabila syarat dan tata cara pengambilan fa’i tersebut tidak bisa
dipenuhi, maka hukum perampokan terhadap bank, pasar-pasar, toko mas dan lain
sebagainya adalah haram.
Maka dalam hal ini Syaikh Abu basyir
menyatakan; apabila merampas harta orang kafir akan menimbulkan mafsadat ‘amah
bagi islam dan kaum muslimin, maka perampasan sepaerti itu menjadi haram karena
akan mengakibatkan kerusakan dan madhorot yang lebih besar, walaupun pada
aslinya itu diperbolehkan. [Istihlalu amwalil kufar, hal. 47]
Karena pada dasarnya syari'at islam
datang untuk menolak madhorot dan mafsadat (kerusakan), dan itu lebih
didahulukan dari pada untuk menimbulkan suatu kemaslahatan. Sebagagaiman qoidah
usul fiqh :
“Mencegah bahaya lebih diutamakan
daripada menimbulkan maslahat” [Sharhu quwaid fiqhiyah, hal. 205]. Dan jika ada
dua mafsadat bertemu dalam satu keadaan maka haruslah diambil salah satunya
mana yang lebih ringan mafsadatnya di antara ke duanya. [Istihlalu amwalil
kufar, hal. 46]
GHANIMAH
Yang dimaksud dengan anfal tiada lain
adalah ghanimah (QS Al Anfal: 1). Ibnu Abbas dan Mujahid berpendapat bahwa
anfal adalah ghanimah, yakni segala harta kekayaan orang-orang kafir yang
dikuasai oleh kaum muslimin melalui perang penaklukan. Pihak yang berwenang
mendistribusikan ghanimah adalah Rasulullah saw dan para khalifah setelah
beliau. Rasulullah saw telah membagikan ghanimah Bani Nadhir kepada kaum
Muhajirin dan tidak kepada Anshar, kecuali Sahal bin Hanif dan Abu Dujanah,
karena keduanya fakir. Rasulullah saw juga memberikan ghanimah kepada muallaf
pada perang Hunain dalam jumlah yang besar. Hal tersebut juga terjadi pada
kurun Khulafaur Rasyidin. Khalifah berhak membagikan ghanimah kepada pasukan
perang, ia juga dapat mengumpulkannya bersama fa'ii, jizyah dan kharaj untuk
dibelanjakan demi terwujudnya kemaslahatan kaum muslimin.
“Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang
dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk
Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan
ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa [615] yang kami
turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya
dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS Al Anfaal (8): 41)
Cara Pembagian Harta Ghonimah Dan Fa’i
a)
Kaidah
utama dalam pembagian ghonimah adalah seperti yang ditetapkan Al-Quran (untuk
Allah seperlimanya): 20 % dari total harta ghonimah diletakkan di Baitul Mal
kaum Muslimin. Sedangkan 80% sisanya dibagikan kepada kelompok Mujahidin yang
memperoleh ghonimah tersebut.
b)
Ketika
ada kesepakatan tentang sistem pembagian antara anggota tim pasukan yang
berjihad sebelum meraih harta ghonimah, maka kesepakatan itu harus mereka
laksanakan dengan adil. Namun, jatah yang disalurkan untuk kepentingan jihad
dan kaum muslimin tidak boleh kurang dari seperlima (20%). Jika mereka rela
untuk menambahnya sebelum menjalankan operasi, silahkan mereka memberi tambahan
sesuai kesepakatan, karena mungkin untuk memenuhi keperluan tandzim atau
pasukan mereka dalam urusan-urusan jihad.
c)
Jika
tim pasukan beroperasi dengan dukungan kekuatan dari tandzim atau kelompok
pasukan lain yang turut mensuplai kebutuhan umum, baik logistik, senjata,
survei, informasi dan kebutuhan lainnya, maka semua anggota tandzim terkait
diberi jatah dalam jumlah sesuai kesepakatan saling ridho yang dilakukan antar
jajaran petinggi tandzim-tandzim tersebut.
d)
Pembagian
20% yang diberikan kepada Baitul Mal adalah untuk: 4% imam, 4% fuqarah dan
masakin (kaum fakir miskin), 4% mashalihul'l muslimin (untuk kemaslahatan kaum
muslimin), 4% ibnu'ssabil, 4% yatama (anak-anak yatim).
SALAB
Salab adalah barang-barang yang didapat
dari musuh tampa paksaan.
Pembagian salab
Salab lebih dikhususkan untuk tentara
yang membunuhnya. jika dalam membunuhnya bersama-sama, maka barang itu dibagi
bersama-sama
Pembagian Harta Rampasan
• Ghanimah itu dibagi menjadi dua
bagian :
A. 1/5 (20 %) untuk:
1. 4% Imam;
2. 4% Fuqara dan masakin (kaum fakir
dan kaum miskin)
3. 4% Mashalihul'l Muslimin (untuk
kemashlahatan kaum muslimin)
4. 4% Ibnu'ssabil (kaum yang
berperang).
5. 4% Yatama (anak yatim).
B. 4/5 (80%) diserahkan bulat sebagai
bagian Tentara yang ikut bertempur.
• Fa'i itu dibagi menjadi dua bagian :
A. 1/5 (20%)
1. 4% Imam
2. 4% Mushalihu'l-Muslimin (untuk
kemaslahatan kaum muslimin)
3. 4% Fuqara wa'l-masakin (kaum fakir
dan kaum miskin).
4. 4% Ibnu'sabil (mereka yang
berperang).
5. 4% Yatama (anak-anak yatim)
B. 4/5 (80%): Diberikan bulat kepada
keuangan negara untuk Mashalihu'l-Muslimin (kemaslahatan kaum Muslimin).